Rupat Bengkalis Riau,
Wahana Lingkungan Hidup(WALHI) Riau meluncurkan publikasi hasil analisis dan investigasi bertajuk “Komitmen Semu FOLU Net Sink 2030 di sektor Korporasi Kehutanan Riau”. Laporan ini menyatakan Rencana Kerja FOLU Net Sink yang dirancang oleh Pemerintah Provinsi Riau sejak 2020 khususnya di sektor korporasi kehutanan masih jauh dari target capaian yang harus dipenuhi hingga 2030. Ada tiga faktor penyebab kegagalan: belum ada penyelesaian konflik tenurial di areal kerja perusahaan HTI; ketidaksesuaian data dokumen Rencana Kerja (Renja) dengan kondisi di lapangan; dan pelanggaran lingkungan Hidup yang masih berlangsung. Pihak Walhi Riau Melalui Pesan Elektronik(02/08) pkl. 21:48 kepada Pindomerdeka, kegiatan siaran Pers WALHI Riau,Sabtu 02 Agustus 2025.
Peluncuran laporan tersebut disertai dengan diskusi publik dengan mengundang Riko Kurniawan, Direktur Paradigma dan Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Kebun dan Hutan WALHI Nasional sebagai narasumber. Dalam pemaparan laporan yang disampaikan oleh Rezki Andika, Staf Kajian WALHI Riau, disebutkan investigasi dilakukan di lima konsesi perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) atau Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), yaitu PT Ruas Utama Jaya (RUJ), PT Suntara Gajapati (SGP), PT Sumatera Riang Lestari (SRL), PT National Sago Prima (NSP), dan eks konsesi PT Merbau Pelalawan Lestari (MPL).
Rezki menyampaikan Riau menjadi salah satu wilayah intervensi FOLU Net Sink 2030 terbesar yaitu 65,58 persen wilayahnya atau seluas 5.707.663,85 hektar. Implementasi FOLU Net Sink 2030 dilakukan berdasarkan arahan aksi mitigasi yang terbagi menjadi 12 Rencana Operasional (RO). Namun berdasarkan hasil investigasi lapangan, WALHI Riau menemukan adanya ketidaksesuaian peruntukan lokasi RO antara dokumen Rencana Kerja (Renja) FOLU Riau dengan fakta lapangan.
“Ada perbedaan hasil di lapangan dengan dokumen. Dalam dokumen Renja FOLU Riau disebut RO2 (pencegahan deforestasi lahan gambut) di NSP adalah seluas 1.449,73 hektar. Sementara kami menemukan hanya ada 275 hektar hutan alam. Kemudian ditemukan ketidaksesuaian jenis kawasan, lahan RO1 dan RO7 seharusnya berada di kawasan lahan mineral, namun kami menemukan lokasi kedua RO tersebut berada pada ekosistem gambut. Lokasi lain yang tak sesuai adalah pada wilayah RO4 di areal kerja PT SRL. Pada dokumen Renja lokasi ini disebut sebagai lahan tidak produktif, namun ternyata wilayah tersebut sudah dikelola sejak tahun 2009. Jadi tak sesuai,” ujar Rezki.
WALHI Riau juga menemukan masih adanya konflik sosial di tiga areal kerja perusahaan. Pertama, PT RUJ dengan luas 17,8 ribu hektar memiliki konflik tanah karena wilayahnya tumpang tindih dengan pemukiman, kebun, dan tambak masyarakat Desa Basilam Baru. PT SGP juga berkonflik dengan Desa yang sama dengan indikatif luas konflik 20,8 ribu hektar. Terakhir, PT SRL dengan luas 1,3 ribu hektar memiliki konflik dengan kebun masyarakat Kelurahan Batu Panjang dan Terkul.
WALHI Riau juga menemukan masih ada pelanggaran lingkungan hidup yang dilakukan oleh keempat perusahaan yang aktif, seperti indikasi kerusakan ekosistem gambut. WALHI Riau juga menemukan aktivitas PT NSP yang berlawanan dengan dokumen Renja FOLU dan Rencana Perlindungan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG). “Ini bakal menghambat Riau sebagai FOLU Net Sink 2030,” kata Rezki.
Berdasarkan catatan temuan tersebut WALHI Riau meminta Presiden RI untuk bersikap tegas bahwa komitmen iklim Indonesia, khususnya FOLU Net Sink 2030, harus diimplementasikan secara serius di tingkat tapak dan bukan sekadar perencanaan di atas kertas. Selain itu Presiden juga harus mengintruksikan Kementerian terkait untuk melakukan sinkronisasi dan pengawasan ketat terhadap Rencana Kerja (Renja) FOLU di tingkat provinsi, guna memastikan tidak terjadi ketidaksesuaian antara data, perencanaan, dan kondisi lapangan seperti yang terjadi di Riau.
Riko Kurniawan, menambahkan bahwa meski bukan Negara terbesar penghasil emisi karbon, namun dalam sektor hutan dan lahan, Indonesia masuk dalam tiga besar Negara terbanyak dalam pelepasan emisi. Riau sebagai salah satu wilayah prioritas FOLU Net Sink 2030, dinilai kurang ambisius dalam menjalankan implementasi kebijakan tersebut.
“Hampir 20 tahun telah terjadi banyak pelanggaran lingkungan hidup dan alih fungsi lahan hutan Riau menjadi sawit. Mangrove pun sudah berubah menjadi tambak udang. Lahan bekas terbakar, belum dilakukan pemulihan. Bahkan ada denda untuk pemulihan lahan karhutla. Sementara sampai sekarang tim Renja Folu Net Sink Riau belum bekerja. Isu iklim masih jadi isu ‘gimik-gimik’ saja. Rencana FOLU Net Sink 20230 sebenarnya sudah cukup bagus, namun tak selaras dengan implementasinya. Rencana hanya ambisius di atas kertas. Kita harus melakukan aksi nyata, yang dibutuhkan sebenarnya implementasi lapangan,” tambah Riko.
Narasumber terakhir, Uli Arta Siagian menambahkan bahwa seringkali negara tidak mengakui keberadaan masyarakat yang tinggal di hutan sebagai ruang hidup mereka. “Ketika hutan itu ada, eksistensi mereka ada. Namun, ketika hutan dinilai secara ekonomi, maka banyak proyek yang masuk ke kampung kemudian menggeser kehidupan mereka. Padahal makna hutan itu sebagai sumber kehidupan, bukan sumber investasi. Jadi, bagi Negara, hutan itu dijaga karena nilai ekonomis, bukan karena semata-mata bagian penting dari kehidupan kita,” ujar Uli Arta.
Diskusi yang dipandu oleh Sri Depi Surya kemudian mendapat tanggapan dan pertanyaan dari para peserta. Ada yang mempertanyakan apakah FOLU Net Sink ini dapat tercapai dengan situasi yang mengkhawatirkan. Ada juga yang membahas bagaimana masyarakat Adat dapat berkontribusi terhadap pengurangan emisi karbon, dan bagaimana ruang diskursif semacam ini dapat terus diadakan untuk membuat publik semakin paham apa yang sebenarnya sedang dikerjakan pemerintah dan dampaknya kepada masyarakat, khususnya terkait isu lingkungan hidup dan iklim. Diskusi selengkapnya dapat disimak di kanal youtube WALHI Riau dan laporan investigasi dapat diunduh di Website WALHI Riau.
Rilis perpaduan**(Zaini)
Narahubung :
– WALHI Riau (082288245828)-